Adab Seorang Pengajar
KITAB ILMU
1. Adab Seorang Pengajar
Tawadhu’ dan rendah diri.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya:
وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ [الشعراء : ٢١٥]
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. [Asy-Syu’araa/26: 215]
Memiliki akhlak yang terpuji.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ [القلم: ٤]
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. [Al-Qalam/68: 4]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ [الاعراف: ١٩9]
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. [Al-A’raaf/7:199]
Hendaklah seorang pengajar memperhatikan keadaan seseorang saat memberikan nasehat dan ilmu agar mereka tidak merasa jemu, lalu menjauh:
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كَانَ النَّبِيُّ- صلى الله عليه وسلم- يَتَخَوَّلُنَا بِالموْعِظَةِ فِي الأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. متفق عليه
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan keadaan kami pada hari-hari beliau memberi nasehat karena khawatir jika ada rasa jemu yang menyentuh kami.’Muttafaqun ‘alaih.[1]
Meninggikan suara saat menyampaikan ilmu dan mengulanginya dua atau tiga kali, agar dapat dipahami:
Dari Abdullah bin ‘Amar Radhiyallahu anhu berkata:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال: تخلف النبي- صلى الله عليه وسلم- في سفرة سافرناها، فَأَدْرَكَنا وقد أَرْهَقَتْنا الصلاة ونحن نتوضأ، فجعلنا نمسح على أرجلنا، فنادى بأعلى صوته: «وَيْلٌ للأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ» مرتين أو ثلاثاً. متفق عليه
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dalam sebuah perjalanan kami lakukan, dan beliau menyusul kami, sementara waktu shalat telah masuk dan kami sedang berwudhu’. Maka kami mengusap kaki kami, lalu beliau berseru dengan suara yang tinggi: “Celakalah tumit (yang tidak tersentuh oleh air wudhu’) karena (akan disiksa dengan) api neraka.’ Dua kali atau tiga kali.” Muttafaqun ‘alaih.[2]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
عن أنس رضي الله عنه عن النبي- صلى الله عليه وسلم-: أَنَّهُ كَانَ إذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاثاً حَتَّى تُفْهَمَ، وإذَا أَتَى عَلَى قَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ سَلَّمَ عَلَيْهِمْ ثَلاثاً. أخرجه البخاري
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila beliau berbicara dengan suatu kata, maka beliau mengulanginya tiga kali, sehingga dapat dipahami. Dan apabila beliau mendatangi suatu kaum, maka beliau memberi salam kepada mereka sebanyak tiga kali.” HR. al-Bukhari.[3]
Bernada marah dalam memberi nasehat dan mengajar, apabila melihat atau mendengar hal yang tidak disukai.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah!, hampir saja aku tidak mendapatkan shalat, karena fulan (yang mengimami shalat) selalu memperpanjang shalatnya dengan kami”. Maka aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah melebihi marahnya daripada hari itu dalam memberi nasehat beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ مُنَفِّرُوْنَ فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنْ فِيْهِمُ الْمَرِيْضَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْحَاجَةِ.
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian membuat orang berlari (dari agama ini). Barangsiapa (yang mengimami) manusia dalam shalatnya, maka hendaklah ia memperpendeknya. Karena sesungguhnya di antara jama’ah ada orang yang sakit, lemah, dan mempunyai kebutuhan.” Muttafaqun ‘alaih.[4]
Terkadang memberi jawaban kepada penanya dengan jawaban yang lebih banyak daripada pertanyaannya.
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pakaian yang boleh dipakai oleh orang yang sedang berihram? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَتَلْبَسُوْا الْقُمُصَ وَلاَالْعَمَائِمَ وَلاَ الْسَرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ, وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرَسُ.
“Janganlah engkau memakai kemeja, dan jagan pula memakai surban, celana, baju mantel yang bertedung kepalanya, sepatu, kecuali orang yang tidak mendapatkan dua sendal, maka hendaklah ia memakai dua sepatu (khuf) dan hendaklah dia memotongnya sehingga menjadi lebih rendah dari dua mata kaki. Dan janganlah kamu memakai pakaian yang terkena za’faran dan waras.” Muttafaqun ‘alaih.[5]
Melontarkan pertanyaan kepada murid-muridnya untuk mengetahui tingkat keilmuan mereka.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةٌ لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُوْنِي مَا هِيَ؟ فَوَقَعَ النَّاسُ فِى شَجَرِ الْبَوَادِي. قَالَ عَبْدُ الله: وَوَقَعَ فِى نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فاَسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قاَلُوْا: حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُوْلَ الله؟ قَالَ: هِيَ النَّخْلَةُ.
“Sesungguhnya di antara pohon ada satu pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan sesungguhnya ia adalah perumpamaan seorang muslim, beritahukanlah aku, apakah nama pohon itu?’. Orang-orang menduga bahwa nama pohon tersebut adalah pohon bawadi. Abdullah Radhiyallahu anhu berkata: Aku menduga bahwa pohon itu adalah pohon kurma, namun aku merasa malu mengatakannya. Kemudian para shahabat berkata: beritahukanlah kepada kami pohon apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: Ia adalah pohon kurma.” Jawab Rasulullah. Muttafaqun ‘alaih.[6]
Tidak melontarkan perkara yang samar di tengah umum, dan tidak mengkhususkan ilmu tertentu bagi suatu kaum, karena khawatir jika mereka tidak mengerti.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
عَن أَنَسِ بنِ مَالكٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّ نَبِيَّ الله- صلى الله عليه وسلم- ومعاذُ بنُ جَبَلٍ رَدِيفُهُ عَلى الرَّحْلِ، قَالَ: «يَا مُعاذُ» قالَ: لَبَّيكَ رَسُولَ الله وَسَعْدَيْكَ، قَالَ: «يَا مُعاذُ» قالَ: لَبَّيكَ رَسُولَ الله وَسَعْدَيْكَ، قَالَ: «يَا مُعاذُ» قالَ: لَبَّيكَ رَسُولَ الله وَسَعْدَيْكَ، قال: «مَا مِنْ عَبِدٍ يَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ».قالَ: يا رَسُولَ الله، أَفَلا أُخْبِرُ بِها النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا؟ قَالَ: «إذاً يَتَّكِلُوا» قَأَخْبَرَ بِها مُعاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأثُّماً. متفق عليه
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membonceng Mu’adz Radhiyallahu anhu. Beliau bersabda: “Wahai Mu’adz!”. “Ya, wahai Rasulullah”. Kata Mu’adz menjawab, “Wahai Mu’adz!”. “Ya, wahai Rasulullah”. Kata Mu’adz menjawab. “Wahai Mu’adz!”. “Ya, wahai Rasulullah”. Kata Mu’adz menjawab. Beliau bersabda: ‘Tidak ada seorangpun yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah dengan sebenarnya) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan benar dari hatinya, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya atas dirinya api neraka. Mu’adz bertanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukannya kepada manusia agar mereka bergembira dengannya?”. Beliau bersabda: “Niscaya mereka akan bersandar (tidak beramal)”. Namun, akhirnya Mu’adzpun membeitahukan tentang hadits tersebut saat akan meninggalnya karena takut berdosa (jika menyembunyikannya)”. Muttafaqun ‘alaih.[7]
Meninggalkan merubah kemungkaran, apabila khawatir akan terjadi kemungkaran yang lebih berat dengan sebab itu:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ”
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمُكِ حَدِيْثَ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ َلأَمَرْتُ بِاْلبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ. وَأَلْزَقْتُهُ بِاْلأَرْضِ وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ, بَابًا شَرْقِيًّا وَبَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ
“Wahai ‘Aisyah, kalau bukan karena kaummu masih baru meninggalkan masa jahiliyah, niscaya aku memerintahkan untuk meruntuhkan Ka’bah, lalu aku memasukkan padanya yang telah dikeluarkan darinya (hijir Ismail) dan aku melekatkannya dengan bumi, dan aku menjadikannya dua pintu, satu pintu di Timur dan satu pintu di Barat, sehingga dengannya aku mencapai pondasi yang telah dibangun nabi Ibrahim Alaihissallam.’ Muttafaqun ‘alaih.[8]
Mengajarkan ilmu baik kepada laki-laki dan perempuan secara khusus:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata: Para wanita berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kaum lelaki telah mengalahkan kami atas dirimu, maka berikanlah bagi kami satu hari dari dirimu”. Maka beliau menjanjikan kepada mereka satu hari di mana beliau bertemu dengan mereka padanya. Maka beliau memberi nasehat dan memerintahkan kepada mereka. Maka di antara nasehat beliau kepada mereka:
مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ حِجَابًا لَهَا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ: وَاثْنَيْنِ.
“Tidak ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya melainkan mereka menjadi penghalang baginya dari nereka.’ Maka seorang wanita berkata: “Dan bagaimana dengan dua orang?”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan begitu juga dua orang”. Muttafaqun ‘alaih.[9]
Seorang yang berilmu hendaknya memberi nasehat dan mengajar manusia di malam atau siang hari, di atas tanah atau kendaraan.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga pada satu malam, lalu bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ وَمَاذَا فُتِحَ مِنَ الْخَزَائِنِ, أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَ الْحُجَرِفَرُبَّ كَاسِيَةٍ فِى الدُّنَْيا عَارِيَةٍ فِى اْلآخِرَةِ
Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apakah yang telah diturunkan pada malam ini dari fitnah. Apakah yang telah dibuka dari perbendaharaan. Bangunkanlah orang-orang yang ada di dalam kamar, berapa banyak yang berpakaian di dunia, bertelanjang di akhirat. HR. al-Bukhari.[10]
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘Isya bersama kami di akhir hayatnya. Maka tatkala beliau salam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتَكُمْ لَيْلَتَكُمْ هذِهِ فَإِنَّ رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا لاَ يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ عَلَى ظَهْرِ اْلأَرْضِ أَحَدٌ
“Bagaimana pendapatmu tentang malam kamu ini, sesungguhnya awal seratus tahun yang akan datang tidak ada seorang pun dari yang hidup masa ini yang masih tersisa di atas muka bumi.” Muttafaqun ‘alaih.[11]
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata:
عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال: كنت ردف رسول الله- صلى الله عليه وسلم- على حمار يقال له عُفيرٌ قال: فقال: «يَا مُعَاذُ تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى العِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ؟» قال: قلت: الله ورسوله أعلم قال: «فَإنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى العِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ وَلا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً، وَحَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ عَزّ وَجَلَّ أَنْ لا يُعَذِّبَ مَنْ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيئاً» قال قلت: يا رسول الله أفلا أبشر الناس؟ قال «لا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا». متفق عليه.
Aku berada pada boncengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas keledai yang dinamakan ‘Ufair, beliau berkata: “Wahai Mu’adz, apakah engkau tahu hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hambaNya? Dan apakah hak hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala? Mu’adz berkata: “Aku menjawab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba bahwa mereka menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Dia tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Mu’adz melanjutkan: “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukan berita gembira kepada manusia?”. Beliau menjawab: “Janganlah engkau memberitahukan tentang kabar gembira ini kepada mereka, agar mereka tidak bersandar tanpa amal. Muttafaqun ‘alaih.[12]
Doa dan dzikir yang dibaca pada penutup majelis.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu ia berkata, ‘Jarang sekali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dari majelis, sehingga beliau berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabatnya:
اللّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيْكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتِكَ, وَمِنْ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ مُصِيْبَاتِ الدُّنْيَا وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَاوَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
“Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berikanlah kepada kami dari rasa takut kepada-Mu yang menghalangi antara kami dan bermaksiat kepada-Mu, dan dengan taat kepada-Mu yang menyampaikan kami kepada surga-Mu, dan dengan keyakinan yang memudahkan kami menghadapi musibah-musibah dunia. Berilah kenikmatan kepada kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama hidup kami. Jadikanlah ia sebagai warisan dari kami. Jadikanlah pembalasan dendam kami kepada yang berbuat zalim kepada kami. tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami. Janganlah Engkau jadikan musibah dalam agama kami. Janganlah engkau jadikan dunia menjadi tujuan terbesar kami, dan jangan pula menjadi kesudahan pengetahuan kami. dan jangankan Engkau kuasakan kepada kami orang yang tidak sayang kepada kami”. HR. at-Tirmidzi.[13]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَلَسَ فِى مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيْهِ اللَّغَطُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذلِكَ: سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ, أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ: إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِى مَجْلِسِهِ ذلِكَ.
“Barangsiapa yang duduk di suatu majelis yang banyak terjadi kegaduhan padanya, lalu sebelum berdiri dari majelisnya ia membaca:
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ, أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Maha suci Engkau, ya Allah, dan segala pujian bagi-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Engkau, aku meminta ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu). Melainkan diampuni baginya apa yang telah terjadi di majelisnya itu.” HR. Ahmad dan at-Tirmidzi.[14]
[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Tauhid dan keimanan التوحيد والإيمان ). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1] HR. al-Bukhari no. 68, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 2821
[2] HR. al-Bukhari no. 60, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 241
[3] HR. al-Bukhari no. 95.
[4] HR. al-Bukhari no. 90, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 466.
[5] HR. al-Bukhari no. 1542, dan Muslim no. 1177, ini adalah lafazhnya.
[6] HR. al-Bukhari no. 61, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 2811
[7] HR. al-Bukhari no. 128, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no 32.
[8] HR. al-Bukhari no. 1586, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no 1333.
[9] HR. al-Bukhari no. 101, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 2633
[10] HR. al-Bukhari 115.
[11] HR. al-Bukhari no. 116, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 2537.
[12] HR. al-Bukhari no. 2856,dan Muslim no. 30, ini adalah lafazhnya.
[13] Hasan. HR. at-Tirmidzi no 3502,Shahih Sunan at-Tirmidzi no.2783, lihat Shahih al-Jami’, no 1268
[14] Shahih HR. at-TAHmad no. 10420, dan at-Tirmidzi no 3433, ini adalah lafazhnya, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2730.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/83917-adab-seorang-pengajar.html